Selasa, 23 Februari 2010

Mengapa Tidak Ada NABI BARU...!!


Mengapa sekarang tidak ada nabi yang baru?

Menurutku setidaknya ada dua kemungkinan jawaban untuk pertanyaan itu.

PERTAMA;

Karena di satu sisi orang-orang (secara tidak sadar) telah menjadi jauh lebih rasional, sehingga adanya sosok "nabi" tinggal menjadi bahan tertawaan belaka.

Dalam alam pikir yang jauh lebih rasional itu, hampir tidak ada lagi tempat untuk tokoh "utusan tuhan" dan yang ghoib-ghoib lainnya, orang-orang telah semakin hidup dalam dunia yang nyata.

Urusan manusia dengan tuhannya pun semakin menjadi lebih personal dan individual, tuhan tidak lagi menjadi barang yang (amat sangat dan terlalu) mewah sehingga hanya segelintir oknum-oknum yang disebut "nabi" itu yang mampu menerjemahkan omong-kosongnya.

Orang-orang telah menjadi lebih cerdas dan dalam batas tertentu mampu menjadi nabi bagi dirinya sendiri - tentunya secara tidak sadar. Menginterpretasikan kehidupan ini, dan kalau perlu tuhan itu sendiri. Tidak dibutuhkan lagi nabi, atau bisa juga dikatakan tidak ada lagi tempat untuk nabi (yang pandai dalam hal karang-mengarang), sejak manusia semakin mampu untuk menjelaskan kehidupan ini dengan nalarnya, seperti petir, gunung berapi, dan peristiwa alam lain yang kini telah dapat dijelaskan secara rasional.

Yang penting juga adalah bahwa seiring dengan perkembangan peradaban, orang-orang semakin jauh menggunakan logika dalam menghadapi dan mengatasi kehidupan, karena kehidupan pun telah menjadi bukan main semakin kompleks sehingga (sekadar) nabi-nabi dan sim-salabimnya tidak mencukupi lagi.

Kemudian pertanyaannya dalam kasus ini, lalu bagaimana bisa "nabi (-nabi) yang lama" tetap diakui dan dijunjung tinggi tanpa menjadi bahan tertawaan?

Memang, tidak seperti buku-buku pelajaran SD, sudah beberapa waktu lamanya tidak terbit lagi nabi-nabi edisi revisi yang baru, dan yang lama pun tetap menjadi panutan hidup-dan-mati bagi sebagian besar orang.

Tetapi dari sana terlihat bahwa urusan pernabi-nabian, keagamaan, dan bahkan ketuhanan (dalam derajat atau jenis orang-orang tertentu) - ternyata sebenarnya adalah lebih merupakan urusan budaya dan sosial, urusan politis.

Karena memang pada dasarnya "tidak dibutuhkan lagi" adanya nabi-nabi, maka tidak ada lagi, atau setidaknya tidak banyak bermunculan nabi-nabi yang baru.

Dan oknum-oknum "yang lama" tetap bercokol pada tempatnya karena ada sanksi-sosial bagi setiap potong kepala yang meninggalkannya, menggantinya, atau tidak mengakuinya - berupa cap-cap semacam "kafir", "murtad", "perusak nama baik keluarga", dan lain-lain.

Tentu saja selain karena sistem yang berlaku pada saat ini pun - sedikit atau banyak - memiliki kepentingan dan kebutuhan untuk melestarikan mafia-mafia ketuhanan beserta tuhan-tuhan, nabi-nabi, dan doktrin-doktrinnya dalam nama pengendalian terhadap pikiran dan perbuatan masyarakat.

Jadi, sederhananya, dalam kemungkinan yang pertama ini, yang sebenarnya terjadi - secara tidak sadar - adalah; "sudahlah tidak perlu néko-néko, ikuti saja apa yang sudah ada, bahkan ikuti saja semua benda-benda konyol warisan orang tuamu itu, agamanya, nabi-nabinya, ujar-ujarnya, kitab sucinya, dan semua hantu-blau-nya. Daripada kau mencari-cari sendiri tuhan dan nabimu, rasanya waktumu lebih berharga kalau digunakan untuk hal-hal yang lain saja. Belum lagi kalau kau sampai disebut murtad oleh keluargamu dan kafir oleh tetanggamu."

KEDUA;

Justru menunjukkan bahwa alam pikir orang-orang masih jauh dari rasional.

Bahwa "nabi yang dulu" boleh dan tetap harus ada, tetapi tidak boleh ada "nabi yang baru", di mana "peraturan" tersebut muncul dan hidup tanpa ada landasan rasional apapun kecuali berkas-berkas sumpah-serapah norak dan racauan iblis-bin-jurig gila, ditulis oleh entah siapa, dan berasal dari ribuan tahun lalu nun jauh di sana - yang lebih edan dan lebih sontoloyo daripada resep dukun cabul atau skenario sinetron-sinetron goblog - namun diimani dengan segenap jiwa, raga, dan kontol.

***

Semoga yang pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar